Dalam bidang peternakan, bioteknologi dimanfaatkan untuk menghasilkan vaksin, antibodi, pakan bergizi tinggi, dan hormon pertumbuhan. Contoh vaksin untuk ternak yaitu vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada mamalia, vaksin NCD untuk mengobati penyakit tetelo pada unggas, dan vaksin untuk penyakit flu burung.
Hormon pertumbuhan diberikan pada ternak untuk meningkatkan produksi daging, susu, atau telur. Contohnya adalah pemberian Bovine Growth Hormone pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu dan daging hingga 20%. Namun penggunaan hormon untuk memacu produksi pada ternak masih diperdebatkan karena berpotensi meningkatkan penyakit masitis pada ternak dan membahayakan kesehatan manusia.
Pemanfaatan bioteknologi dalam bidang peternakan lainnya adalah membuat hewan transgenik (hewan yang gennya telah dimodifikasi) dan teknologi induk buatan. Teknologi induk buatan sering dilakukan pada hewan langka yang sulit bereproduksi secara alami. Embrio hewan ini ditransplantasikan pada rahim spesies lain yang masih berkerabat. Dengan cara ini diharapkan hewan langka tersebut terhindar dari ancaman kepunahan.
Penerapan prinsip bioteknologi dalam bidang peternakan antara lain sebagai berikut:
A. Teknologi transplantasi nukleus dan splitting embrio
Saat ini pembelahan embrio secara fisik telah berhasil menghasilkan kembar identik pada domba, sapi, babi dan kuda. Walaupun secara teoritis pembelahan dapat dilakukan beberapa kali, tetapi sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Embrio sapi pada stadium akhir dan blastosist dapat dibelah menjadi dua bagian, setengahnya dapat dikembalikan langsung kedalam uterus dan sebahagian sisanya dapat segera ditransfer ke resipien. Teknik splitting ini dimasa depan mempunyai prospek yang sangat bagus, terutama pada ternak yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (sapi perah). Akan tetapi penyempurnaan agar tingkat keberhasilannya lebih baik lagi dan aplikasinya lebih mudah dan murah perlu terus dilakukan. Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan cloning pada katak dan pada tahun 1980an untuk pertama kali dilaporkan cloning pada domba.
Tahun 1996 telah dilaporkan suatu hasil cloning domba yang berasal dari sel somatik jaringan kelenjar susu. Selanjutnya cloning pada tikus yang berasal dari sel kumulus sel telur pada stadium methaphase II juga telah berhasil. Yang terbaru adalah keberhasilan kelahiran delapan ekor pedet hasil cloning yang berasal dari sel epithel jaringan reproduksi sapi betina dewasa Keberhasilan dari teknologi ini akan memberi peluang yang besar terhadap kemajuan iptek peternakan di masa yang akan datang. Splitting maupun cloning juga akan sangat bermanfaat dalam membantu program konservasi secara in vitro (cryogenic preservation). Akan tetapi upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai manfaat ekonomis masih perlu dikaji, disamping masalah lain yang berkaitan dengan masalah sosial. Saat ini perkembangan teknologi splitting embrio di Indonesia masih sangat terbatas, baik dalam arti jumlah kegiatannya maupun tingkat keberhasilanya.
Teknologi kloning yaitu teknologi yang digunakan untuk menghasilkan individu duplikasi (mirip dengan induknya). Teknologi kloning telah berhasil dilakukan pada beberapa jenis hewan. Salah satunya adalah pengkloningan domba yang dikenal dengan domba Dolly. Melalui kloning hewan, beberapa organ manusia untuk keperluan transplantasi penyembuhan suatu penyakit berhasil dibentuk. Tahapan teknologi kloning adalah;
1) Isolasi nukleus (inti sel) dari hewan donor.
Nukleus diisolasi dari sel putting susu domba dewasa dengan menggunakan teknik khusus sehingga dapat dikeluarkan dari membrane sel
2) Isolasi sel telur
Sel telur yang belum dibuahi diperoleh dari domba lain. Dibutuhkan banyak sel telur dalam teknologi ini karena banyak sel telur yang tidak mampu bertahan dalam tahapan pengkloningan lebih lanjut.
3) Pengambilan nukleus dari sel telur
4) Penggabungan nukleus dengan sel telur
Nukleus yang telah diisolasi dari sel domba dewasa digabungkan ke dalam sel domba lain yang telah dihilangkan nukleusnya. Secara genetic sel domba yang menerima nukleus identik dengan domba pendonor.
5) Pemasukan sel telur kedalam rahim
Sel telur dimasukkan ke dalam rahim domba betina yang lain. Hanya sedikit sel telur yang mampu bertahan dan berkembang di dalam rahim. Sel telur yang mampu bertahan akan berkembang menjadi embrio dan selanjutnya akan dihasilkan anak domba yang mirip dengan domba pendonor nukleus
B. Teknik Inseminasi Buatan
Teknik ini dikenal dengan nama kawin suntik, adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan sperma yang telah dicairkan dan diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut “ insemination gun”. Teknik inseminasi buatan memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Memperbaiki mutu genetika ternak
2. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama
3. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur
4. Menyegah menularan dan penyebaran penyakit kelamin.
C. Transfer Embrio
Apabila kawin suntik memfokuskan pada sperma jantan, maka transfer embrio tidak hanya potensi dari jantan saja yang dioptimalkan, melainkan potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal.
Teknik TE ini, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer pada induk titipan dengan kualitas yang tidak perlu bagus tetapi memiliki kemampuan untuk bunting.
Embrio yang akan ditransfer ke resipien disimpan dalam foley kateter dua jalur yang steril (tergantung ukuran serviks). Sebelum dilakukan panen embrio, bagian vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan dengan kapas yang mengandung alcohol 70%. Embrio yang didapat dapat langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan di transfer pada waktu lain.
D. Teknologi Transgenik
Hewan transgenik adalah hewan yang telah mengalami rekayasa genetika sehingga dihasilkan hewan dengan sifat yang diharapkan. Teknologi transgenik pada hewan dilakukan dengan cara penyuntingan fragmen DNA secara mikro ke dalam sel telur yang telah mengalami pembuahan. Tujuan dari teknologi ini adalah meningkatkan produk dari hewan ternak seperti daging susu, dan telur.
Contoh dari hewan yang mengalami teknologi ini adalah domba transgenik. Jadi DNA domba ini disisipi dengan gen manusia yang disebut factor VIII ( merupakan protein pembeku darah). Berkat penyusupan gen tersebut, domba menghasilkan susu yang mengandung factor VIII yang dapat dimurnikan untuk menolong penderita hemophilia.
Rekayasa genetika juga dapat melestarikan spesies langka. Sebagai contoh, sel telur zebra yang sudah dibuahi lalu ditanam dalam kuda spesies lain. Spesies lain yang dipinjam rahimnya ini disebut surrogate. Hal ini sudah diterapkan pada spesies keledai yang hamper punah di Australia.
Teknik pelestarian dengan rekaya genetika berguna, dengan alasan:
1) Induk dari spesies biasa dapat melahirkan anak dari spesies langka.
2) Telur hewan langkah yang sudah dibuahi dapat dibekukan, lalu disimpan bertahun-tahun meskipun induknya sudah mati. Jika telah ditemukan surrogate yang sesuai, telur tadi ditransplantasi.
1) Induk dari spesies biasa dapat melahirkan anak dari spesies langka.
2) Telur hewan langkah yang sudah dibuahi dapat dibekukan, lalu disimpan bertahun-tahun meskipun induknya sudah mati. Jika telah ditemukan surrogate yang sesuai, telur tadi ditransplantasi.
E. Hormon BST (Bovine Somatotrophin)
Dengan rekayasa genetika dihasilkan hormon pertumbuhan dewan yaitu BST. Caranya adalah:
1) Plasmid bakteri E.Coli dipotong dengan enzim endonuklease
2) Gen somatotropin sapi diisolasi dari sel sapi
3) Gen somatotropin disisipkan ke plasmid bakteri
4) Bakteri yang menghasilkan bovin somatotropin ditumbuhan dalam tangki fermentasi
5) Bovine somatotropin diambil dari bakteri dan dimurnikan.
1) Plasmid bakteri E.Coli dipotong dengan enzim endonuklease
2) Gen somatotropin sapi diisolasi dari sel sapi
3) Gen somatotropin disisipkan ke plasmid bakteri
4) Bakteri yang menghasilkan bovin somatotropin ditumbuhan dalam tangki fermentasi
5) Bovine somatotropin diambil dari bakteri dan dimurnikan.
Hormon ini dapat memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi susu. BST ini mengontrol laktasi (pengeluaran susu) pada sapi dengan meningkatkan jumlah sel-sel kelenjar susu. Jika hormon yang dibuat dengan rekayasa genetika ini disuntuikkan pada hewan, maka produksi susu akan meningkat 20%.
Pemakaian BST telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration), lembaga pengawasan obat dan makanan di Amerika. Amerika berpendapat nsusu yang dihasilkan karena hormon BST aman di konsumsi tapi di Eropa hal ini dilarang karena penyakit mastitis pada hewan yang diberikan hormon ini meningkat 70%.
Selain memproduksi susu, hormon ini dapat memperbesar ukuran ternak menjadi 2 kali lipat ukuran normal. Caranya dengan menyuntik sel telur yang akan dibuahi dengan hormon BST. Daging dari hewan yang diberi hormon ini kurang mengandung lemak. Sehingga dikhawatirkan hormon ini dapat mengganggu kesehatan manusia.
F. Kriopreservasi Embrio
Adalah suatu proses penghentian untuk sementara kegiatan hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel, dimana proses hidup dapat berlanjut setelah pembekuan dihentikan. Secara umum terdapat dua metode pembekuan yang telah dikembangkan, yaitu metode kriopreservasi konvensional dan metode vitrifikasi
· Metode konvensional
Metode konvensional sangat menekankan pada pembekuan lambat, sehingga berpeluang besar terbentuk kristal es.Metode ini memerlukan alat pembekuan terprogram untuk mengatur proses dehidrasi sel dan kecepatan pembekuan.
· Metode vitrifikasi
Metode vitrifikasi, pembekuan embrio dilakukan secara cepat pada temperatur -196˚C dengan menggunakan krioprotektan konsentrasi tinggi sehingga dapat menghindari terbentuknya kristal es yang dapat merusak membran sel saat pembekuan.Pembekuan embrio dengan metode ini dapat dilakukan dengan lebih murah (tidak diperlukan peralatan yang mahal), prosedur yang mudah, dan cepat.
G. Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi In Vitro dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards (1997). Merupakan suatu upaya peningkatan produksi didalam menyelamatkan bibit unggul yang tidak dapat dilakukan dengan fertilisasi in vivo yaitu dengan suatu teknik pembuahan dimana sel ovum dibuahi diluar tubuh. Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak, khususnya sapi merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat memproduksi embrio sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien, sehingga dapat diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi ternak di Indonesia.
In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan metode pengamatan terhadap terjadinya proses fertilisasi dengan cara membuat percobaan pembuahan di luar tubuh. Menurut Supri Ondho (1998) secara garis besar percobaan IVF meliputi serangkaian kegiatan berupa mengumpulkan ovarium, koleksi oosit, kapasitasi spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio. Berikut ini adalah tahapan-tahapan fertilisasi In Vitro :
1. Pengumpulan ovarium dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Pengumpulan ovarium dilaksanakan dengan cara mengambil ovarium dari ternak yang dipotong. Setelah ovarium didapatkan, kemudian dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis 0,9% dan di bawa ke laboratorium.
2. Koleksi Oosit, proses koleksi oosit ini dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu aspirasi (menghisap), sayatan dan injeksi medium.
3. Maturasi Oosit, Fertilisasi, Kultur in Vitro
4. Pembekuan Embrio
5. Program Transfer Embrio
H. Sexing Spermatozoa
Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Teknologi ini bertujuan untuk menjawab tingginya permintaan peternak terhadap pedet atau anak sapi jantan potong karena harga jualnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak betina. Sedangkan khusus untuk bangsa sapi penghasil susu atau Frisian Holand (FH), benih yang diminamati adalah yang betina. Metode dalam sexing spermatozoa yang sering digunakan adalah dengan menggunakan
I. Metode Sentrifugasi
Merupakan medium yang terdiri dari partikel silica colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal
J. Swim Up Bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari non-motil, celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X. Metode –metode ini mendasarkan dari spermatozoa yang berada pada lapisan atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y dan Spermatozoa berkromosom Y mempunyai kemampuan bermigrasi lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila dilakukan sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan.